Sangat tak manusiawi jika anak yang
dilahirkan di luar nikah disebut anak haram. Putusan uji material Mahkamah
Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1/1974 tentang
Perkawinan setidaknya telah menghapus kesan itu.
“Orang tua harus bertanggung jawab
supaya anak tidak menjadi korban. Jangan sampai anak ditinggalkan dan
dititipkan di panti asuhan,” kata Drs H Andi Ja’far Harun MSi, Kepala Kantor
Kementerian Agama Kota Pontianak kepada Equator, Selasa (28/2) di ruang
kerjanya.
Sudah sering terjadi anak dilahirkan
tanpa diketahui siapa ayah biologisnya. Ibu kandung yang menanggungnya. Tetapi
ada yang tak kuat menghadapinya hingga melakukan aborsi akibat hubungan
terlarang sebelum pernikahan.
Putusan MK memang di satu sisi
sering mendapat hujatan karena dianggap menyuburkan praktik perzinaan atau
kumpul kebo. Tetapi di sisi lain memberikan aspek perlindungan bagi anak
sekaligus menyadarkan si ayah biologis untuk bertanggung jawab. Sebab pada
hakikatnya, anak yang baru lahir ibarat kertas putih. Orang tualah yang
menulisnya.
“Anak yang dilahirkan masih dalam
keadaan fitrah. Oleh karena itu, dia tidak seharusnya menanggung beban apa yang
sudah dilakukan orang tuanya,” kata Andi Ja’far.
Menurut dia, putusan MK kontradiktif
dengan UU Nomor 43/1974. UU itu sudah jelas, anak yang dilahirkan tanpa bapak
nasabnya kembali kepada ibu. Tetapi analisis putusan MK bertujuan untuk
perlindungan anak. “Kalau anak terlahir tanpa orang tua yang lengkap akan
berpengaruh pada perkembangan si anak. Seorang anak akan merasa bangga kalau
ada orang tuanya,” papar Andi Ja’far.
Dalam hal ini, kata dia, peran agama
sangat penting yang sangat melarang untuk berbuat zina. Mendekatinya saja
dilarang karena perbuatan tersebut akan berdampak fatal dan anak yang tidak
tahu apa-apa akan menanggung perbuatan orang tuanya.
“Saya mengimbau kepada orang tua
untuk memerhatikan pergaulan anaknya masing-masing agar tidak terjerumus pada
pergaulan bebas. Salah satu faktor anak lahir di luar nikah akibat dari
pergaulan bebas,” tuturnya seraya mengajak untuk menyelamatkan generasi muda.
Andi Ja’far memaparkan tiga kategori
anak menurut Alquran. Pertama, anak sebagai perhiasan. Anak seperti inilah yang
semua diidamkan oleh orang tua. Kedua, anak sebagai fitnah (cobaan) sehingga
orang tua harus memberikan perhatian lebih. Ketiga, anak sebagai musuh, seperti
inilah yang harus dihindarkan.
Dalam hal administrasi, anak di luar
nikah tidak sah untuk diterbitkan akta kelahirannya. “Maka dia itu hanya anak
ibu bukan anak suami istri. Karena orang tuanya tidak mengikuti aturan yang
telah ditetapkan UU,” kata Drs Hermundi, Kepala Bidang Catatan Sipil Kota
Pontianak.
Masalah hak, kata dia, anak itu
hanya memiliki keperdataan ibunya. “Nah, anak luar nikah maupun anak resmi
tidak masalah dalam membuat KTP,” ujarnya.
Hermundi menuturkan anak luar nikah
sulit itu mendapatkan perlindungan dari hukum, karena status mereka tidak
jelas. “Kepada orang tua harus segera memproses anaknya untuk mendapatkan
hak-hak sipil dan memperoleh kepastian hukum,” katanya.
Nikah
siri
Anggota Komisi A DPRD Kota Pontianak
Syarifah Yuliana menganggap UU No 1 Tahun 1974 sudah menjamin harkat dan
martabat wanita. Konsekuensi logis harus diterima wanita yang menikah siri atau
tidak tercatat. Anak yang dilahirkan dari pasangan menikah siri tidak bisa
mencantumkan nama ayahnya di akta kelahiran.
Sejak diberlakukan UU ini, maka
segala bentuk perkawinan siri tidak diakui secara UU. “Jadi dari segi hukumnya
sudah jelas. Seharusnya masyarakat, khususnya kaum wanita harus mendukung
peraturan ini,” ujarnya.
Terhadap keputusan MK yang
membatalkan pasal 43 ayat 1 UU No 1 tahun 1974, Syarifah menjelaskan, status
anak yang dulunya hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya, sudah bisa bernapas lega. “Dengan demikian bisa mengajukan tuntutan di
pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah secara biologisnya,” ujarnya.
Tetapi dari sisi lain, dengan
dibatalkannya pasal 43 itu akan marak terjadi pernikahan siri. “Masyarakat
tidak perlu lagi membutuhkan lembaga resmi seperti KUA (Kantor Urusan Agama)
untuk mencatatkan pernikahannya. Dampak yang sangat tidak diinginkan adalah
marak hubungan nikah yang dibungkus dengan perkawinan siri,” ujarnya.
Syarifah mengimbau agar kaum wanita
jangan mau dinikahi secara siri. Sebab dapat merugikan pihak perempuan. “Hal
ini harus dibarengi penyuluhan dan pembinaan dari instansi terkait sehingga
masyarakat menyadari pentingnya menikah secara tercatat menurut undang-undang,”
ungkapnya.
0 komentar:
Posting Komentar