Pengasuh
Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur, Kiai Haji Abdullah Faqih
(82), Rabu pukul 19.00 WIB, wafat di rumahnya di kompleks pesantren setempat.
"Ya, beliau memang sudah tiga bulan terakhir sakit setelah jatuh, bahkan beliau juga sempat keluar-masuk rumah sakit, termasuk ke Graha Amerta RSUD dr Soetomo Surabaya," kata Ketua Umum DPP PKNU Choirul Anam.
Kiai Faqih (generasi kelima) memimpin Pesantren Langitan sejak l971, menggantikan Kiai Abdul Hadi Zahid yang meninggal karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi Kiai Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.
Pesantren Langitan termasuk pesantren tua di Jawa Timur. Didirikan l852 oleh Kiai Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang. Langitan dikenal sebagai pesantren ilmu alat. Para generasi pertama NU pernah belajar di pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang (dekat Babat Lamongan) ini. Antara lain Kiai Muhammad Cholil (Bangkalan), Kiai Hasyim Asy`ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Syamsul Arifin (ayah Kiai As`ad Syamsul Arifin), dan Kiai Shiddiq (ayah Kiai Ahmad Shiddiq).
Di mata para santri, Kiai Faqih adalah tokoh sederhana, istiqomah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam salat lima waktu. misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan.
“Tak jarang beliau mencincingkan sarungnya, membersihkan sendiri daun jambu di halaman,” tutur Choirie, lelaki yang pernah selama tujuh nyantren di Langitan.
Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Dalam hal penggalian dana, ia membentuk Badan Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.
Ayah 12 anak buah perkawinannya dengan Hunainah ini juga mengarahkan pesantren agar lebih dekat dengan masyarakat. Di antaranya ia mengirim dai ke daerah terpencil di Jawa Timur dan luar Jawa. Setiap Jumat ia juga menginstruksikan para santri salat Jumat di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren yang diikuti masyarakat luas.
Dalam hubungan dengan pemerintah Orde Baru, Kiai Faqih sangat hati-hati. Meski tetap menjaga hubungan baik, ia tak mau terlalu dekat dengan penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk kepentingan pesantren. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya’.
Mungkin, karena inilah perkembangan pembangunan fisik Langitan termasuk biasa-biasa saja. Moeslimin Nasoetion, saat menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan dan berkunjung ke Langitan pernah berucap, “Saya heran melihat sosok Kiai Abdullah Faqih. Kenapa tidak mau membangun rumah dan pondoknya? Padahal, jika mau, tidak sedikit yang mau memberikan sumbangan.”
Tapi bila terpaksa menerima, ini masih kata Effendy Choirie, "Bantuan itu akan dimanfaatkan fasilitas umum di mana masyarakat juga turut menikmatinya." Kiai Faqih, kata Choirie, juga tak pernah mengundang para pejabat bila pesantrennya atau dirinya punya hajat.
“Tapi kalau didatangi, beliau akan menerima dengan tangan terbuka,” tambah Choirie.(Ant/ICH)
"Ya, beliau memang sudah tiga bulan terakhir sakit setelah jatuh, bahkan beliau juga sempat keluar-masuk rumah sakit, termasuk ke Graha Amerta RSUD dr Soetomo Surabaya," kata Ketua Umum DPP PKNU Choirul Anam.
Kiai Faqih (generasi kelima) memimpin Pesantren Langitan sejak l971, menggantikan Kiai Abdul Hadi Zahid yang meninggal karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi Kiai Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.
Pesantren Langitan termasuk pesantren tua di Jawa Timur. Didirikan l852 oleh Kiai Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang. Langitan dikenal sebagai pesantren ilmu alat. Para generasi pertama NU pernah belajar di pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang (dekat Babat Lamongan) ini. Antara lain Kiai Muhammad Cholil (Bangkalan), Kiai Hasyim Asy`ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Syamsul Arifin (ayah Kiai As`ad Syamsul Arifin), dan Kiai Shiddiq (ayah Kiai Ahmad Shiddiq).
Di mata para santri, Kiai Faqih adalah tokoh sederhana, istiqomah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam salat lima waktu. misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan.
“Tak jarang beliau mencincingkan sarungnya, membersihkan sendiri daun jambu di halaman,” tutur Choirie, lelaki yang pernah selama tujuh nyantren di Langitan.
Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Dalam hal penggalian dana, ia membentuk Badan Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.
Ayah 12 anak buah perkawinannya dengan Hunainah ini juga mengarahkan pesantren agar lebih dekat dengan masyarakat. Di antaranya ia mengirim dai ke daerah terpencil di Jawa Timur dan luar Jawa. Setiap Jumat ia juga menginstruksikan para santri salat Jumat di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren yang diikuti masyarakat luas.
Dalam hubungan dengan pemerintah Orde Baru, Kiai Faqih sangat hati-hati. Meski tetap menjaga hubungan baik, ia tak mau terlalu dekat dengan penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk kepentingan pesantren. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya’.
Mungkin, karena inilah perkembangan pembangunan fisik Langitan termasuk biasa-biasa saja. Moeslimin Nasoetion, saat menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan dan berkunjung ke Langitan pernah berucap, “Saya heran melihat sosok Kiai Abdullah Faqih. Kenapa tidak mau membangun rumah dan pondoknya? Padahal, jika mau, tidak sedikit yang mau memberikan sumbangan.”
Tapi bila terpaksa menerima, ini masih kata Effendy Choirie, "Bantuan itu akan dimanfaatkan fasilitas umum di mana masyarakat juga turut menikmatinya." Kiai Faqih, kata Choirie, juga tak pernah mengundang para pejabat bila pesantrennya atau dirinya punya hajat.
“Tapi kalau didatangi, beliau akan menerima dengan tangan terbuka,” tambah Choirie.(Ant/ICH)
Sumber : Metronews.com
Innalillahi wainnailaihi roji'un
BalasHapusUmat Islam berduka, bangsa ini kehilangan sang panutan dan pemersatu umat. Semoga amal ibadah beliau diterima disisi Alloh SWT. Amiin.